Latest Entries »

Silent Retreat with J. Sudrijanta, SJ

Waking Up – The Non-Dual Path to Inner Peace and Joyful Freedom:

28 June – 3 July 2022 – EIC Cilember, Megamendung, Bogor

26 – 31 July 2022 – EIC Cilember, Megamendung, Bogor

2-7 August 2022 – EIC Cilember, Megamendung, Bogor

Jane K 081365106619, bit.ly/mtoretreat2022

Breathe & Smile

Peserta 47 orang. Dalam skala 1-1000, LoC (Level of Consciousness) overall group ini 391.5 (dominan acceptance, forgiveness dan mendekati understanding) dengan tingkat kenaikan rata-rata 42.6 point. Kenaikan tertinggi antara 95-165 point dialami 9 orang. LoC tertinggi antara 520-805 dicapai 6 peserta. LoC di atas 500: love, gratitude, joy, bliss, wisdom.

Latar belakang agama peserta: Islam, Buddha, Kristen, dan Katolik. Umur antara 19-69 tahun. Laki-laki 7 orang dan perempuan 40 orang. Semua bebas Covid-19.

Semoga semua makhluk bahagia dan damai.☘️

Para Sahabat Pecinta Damai,

Dengan ini diberitahukan bahwa Retret Keheningan akhir tahun 2021 dibatalkan. Sebagai gantinya dibuka program yang sama 18-23 Februari 2022 (Inner Healing and Transformation) dan 24 Februari – 1 Maret 2022 (Realising Christ Nature, Buddha nature, and Divinity Inside).

Pendaftaran melalui link bit.ly/mtoretreat2022. Informasi lebih lanjut silahkan hubungi via whatsapp 0813-6510-6619.

Breathe & Smile!

Jane Kurnadi

Kesempurnaan Hidup

By J Sudrijanta

Segala sesuatu adalah baik dan indah. Bahkan segala sesuatu adalah sempurna adanya. Sehat atau sakit, kaya atau miskin, bersatu atau bercerai, perang atau damai, dst adalah kondisi-kondisi yang sempurna. Begitulah menurut David R Hawkins.

Topik utama yang dibahas Hawkins menukik ke inti dari science dan spiritualitas. Kondisi kesehatan, keuangan, perilaku dan semua kejadian yang kita alami (contents) adalah hasil dari perpaduan bidang energi (energy field) dan kesadaran sebagai sumbernya (context).

Semua perilaku, hubungan, kondisi, atau peristiwa tidak dipandang dari hukum sebab – akibat, tetapi dari hukum manifestasi.

Hukum manifestasi mengatakan bahwa semua peristiwa yang terjadi dalam diri manusia dan segala hal yang terkait dengannya di muka bumi ini muncul dan lenyap sebagai hasil dari perpaduan energi (energy field) dan kesadaran (context). Kebenaran pernyataan ini bisa divalidasi lewat kalibrasi dan memang benar adanya demikian.

Bidang energi membentang dari spektrum paling kasar hingga paling halus. Dunia fisik, tubuh, pikiran, emosi, dan realita yang melampauinya memancarkan energi dalam spektrum yang amat luas dari yang kasar hingga yang halus.

Kesadaran (context) plus energi (energy field) itu menciptakan peristiwa (contents). Pandangan umum mengatakan bahwa diri kita dibentuk oleh pengalaman atau peristiwa-peristiwa hidup. Menurut Hawkins, kita sendirilah pertama-tama yang menciptakan peristiwa, bukan sebaliknya.

Selanjutnya, Hawkins menjelaskan bahwa proses terjadinya tindakan dan peristiwa bisa diamplifikasi oleh “intensi”. Jadi skemanya begini: Konteks/Sumber + Bidang Energi + INTENSI == menciptakan Peristiwa.

Intensi yang rendah tingkat vibrasinya akan menghasilkan kalibrasi pengalaman dan peristiwa yang rendah. Begitu pula sebaliknya.

Kita menangkap di balik indakan baik/benar, terdapat intensi baik/benar. Begitu pula sebaliknya. Tetapi sesungguhnya, selain intensi terdapat dua kekuatan yang medasarinya. Tanpa itu, intensi kehilangan dayanya.

Dalam bahasa spiritual, context atau sumber itu adalah Tuhan (God/Spirit). Batin (mind/soul) adalah bidang energy. Materi dan semua fenomena (matter/body/events) adalah isinya (contents). Semua fenomena (realita relative) ini berasal atau bersumber dan tak terpisah dari Tuhan (Realita Absolut). Realita Absolut dan Realita Relatif adalah Tunggal.

Tidak ada hal satupun di alam semesta ini yang terpisah-pisah. Hawkins menyebut realita tunggal itu sesungguhnya dibentuk oleh Keheningan/Kesadaran/Spirit (context) sejumlah 99%; pikiran dan fenomena(manifestasi) hanyalah 1%.

Kalau kita memandang segala sesuatu di alam fenomena di luar dan di dalam batin(1%) dari spektrum kesadaran (99%), pemahaman yang kita hasilkan melampaui cara pandang linear atau dualistic.

Dalam teori manifestasi ini, tidak ada agensi (ego/aku) yang menyebabkan terjadinya peristiwa. Menganggap bahwa ada ego/aku yang melakukan atau yang paling bertanggung jawab, itu adalah sebuah ketidaktahuan (ignorance).

Pikiran berguna pada levelnya. Tetapi Anda yang mau melihat dan mengalami sendiri keindahan dan kesempurnaan hidup, perlu berlatih melampaui pikiran. Tidak cukup mengembangkan pikiran positif dan menjauhkan pikiran negatif. Semua pikiran positif/negatif ini masih bersifat linear. Kalibrasinya berada di angka maksimal 499. Level kesadaran yang didominasi emosi negatif lebih rendah lagi, ada di angka di bawah 200. Kalau mau mencapai angka 200-499 cukup dengan melepas dominasi emosi negatif dan distraksi ego. Tetapi kalau mau mencapai level 500 ke atas (kasih, syukur, sukacita, kepenuhan-dalam-kekosongan, pencerahan, pembebasan total) dibutuhkan pikiran non-linear atau kesadaran non-dualistik.

“Teori Sebab-Akibat” adalah teori lain lagi. Dikalibrasi benar, tetapi tingkat kalibrasinya lebih rendah dibanding “teori manifestasi”. Demikian menurut Hawkins.

Temuan Hawkins ini bisa membantu menjelaskan logika di balik kata-kata J Krishnamurti. Jiddu Krishnamurti, dalam ceramahnya tahun 1964, mengatakan sesuatu tentang kesempurnaan dan keindahan hidup sbb:

“(Bila Anda hidup dengan kesadaran ini, kepekaan ini) hidup memiliki cara yang menakjubkan untuk merawat Anda, karena dengan begitu tidak ada perawatan di pihak Anda. Hidup membawa Anda ke mana pun dia mau karena Anda adalah bagian dari dirinya sendiri; maka tidak ada masalah keamanan, tentang apa yang dikatakan atau tidak dikatakan orang, dan itulah keindahan hidup.” (Think on These Things, 1964)

“(When you live with this awareness, this sensitivity) life has an astonishing way of taking care of you, because then there is no taking care on your part. Life carries you where it will because you are part of itself; then there is no problem of security, of what people say or don’t say, and that is the beauty of life.” (J Krishnamurti, Think on These Things, 1964.)

Bacaan:

  1. Hawkins, Davir R., Truth vs Falsehood, Hay House Inc., 2005
  2. Krishnamurti, J., Think on These Things, 1964.

Urgensi Memahami Si Aku

[“Berdiri sendiri berarti tidak rusak, polos, bebas dari semua tradisi, dogma, pendapat, apa yang dikatakan orang lain, dan seterusnya. Batin seperti itu tidak mencari karena tidak ada yang dicari; bebas, batin seperti itu benar-benar hening tanpa keinginan, tanpa gerakan. Tetapi keadaan ini bukan untuk dicapai; itu bukanlah sesuatu yang Anda beli melalui disiplin; itu tidak muncul dengan melepaskan seks, atau berlatih yoga tertentu. Itu menjadi ada hanya ketika ada pemahaman tentang cara-cara diri, ‘aku’, yang memanifestasikan dirinya melalui pikiran sadar dalam aktivitas sehari-hari, dan juga dalam ketidaksadaran. Yang penting adalah memahami untuk diri sendiri, bukan melalui arahan orang lain, seluruh isi kesadaran, yang terkondisi, yang merupakan hasil dari masyarakat, agama, dari berbagai pengaruh, kesan, ingatan—untuk memahami semua pengkondisian itu dan menjadi bebas dari itu. Tapi tidak ada “bagaimana” untuk menjadi bebas. Jika Anda bertanya bagaimana menjadi bebas, Anda tidak mendengarkan.” –J Krishnamurti, Second Talk in the Oak Grove, August 7, 1955]

“To stand alone is to be uncorrupted, innocent, free of all tradition, of dogma, of opinion, of what another says, and so on. Such a mind does not seek because there is nothing to seek; being free, such a mind is completely still without a want, without movement. But this state is not to be achieved; it isn’t a thing that you buy through discipline; it doesn’t come into being by giving up sex, or practicing a certain yoga. It comes into being only when there is understanding of the ways of the self, the ‘me’, which shows itself through the conscious mind in everyday activity, and also in the unconscious. What matters is to understand for oneself, not through the direction of others, the total content of consciousness, which is conditioned, which is the result of society, of religion, of various impacts, impressions, memories—to understand all that conditioning and be free of it. But there is no “how” to be free. If you ask how to be free, you are not listening.”

–J Krishnamurti, Second Talk in the Oak Grove, August 7, 1955

Pada level kesadaran manakah manusia mengalami pembebasan tiada tara, tiada lagi tersentuh penderitaan, atau menyatu dengan Tuhan. Sementara tetap hidup dan berfungsi dengan tubuh fisik di tengah dunia?

Apabila Anda pernah mengajukan pertanyaan serupa, tulisan dari tradisi Advaita Vedanta berikut akan menerangi pertanyaan Anda. Teks ini adalah terjemahan dari bab 2 dan 3 dari buku TURIYA – The God State, Santata Gamana, 2018.

Selamat menikmati!

Peace & Joy

J Sudrijanta, SJ

Email sudrijanta1@gmail.com

=====

Bab 2

Apa itu Turiya ?

Manusia mengalami tiga keadaan utama: terjaga, bermimpi dan tidur.

Dalam keadaan terjaga, Anda mengalami dunia, ingatan, tujuan, kesukaan, ketidaksukaan, perasaan, pikiran, emosi, sensasi, dan sebagainya. Anda memiliki kepribadian, identitas, dan cerita. Anda bangun, menjalani kehidupan sehari-hari, dan kemudian pada malam hari Anda tidur. Saat Anda tertidur, ada pemadaman listrik, dengan diselingi beberapa mimpi, lalu Anda bangun lagi dan melanjutkan hari Anda. Ini berlangsung sejak Anda lahir hingga saat Anda meninggal, beberapa dekade kemudian. Keadaan terjaga adalah keadaan kesadaran biasa untuk sebagian besar makhluk (99%). Kemajuan spiritual dan realisasi berikutnya kebanyakan terjadi dalam keadaan ini.

Setiap malam, atau kapan pun Anda tertidur, Anda bermimpi. Bahkan jika Anda tidak mengingat mimpi Anda di pagi hari, itu tidak berarti Anda tidak bermimpi—itu hanya berarti Anda tidak mengingatnya.

Semua pikiran bermimpi ketika mereka terputus dari kendaraan fisik mereka. Mimpi juga sangat mirip dengan keadaan terjaga, dalam arti bahwa Anda mengalami dunia, ingatan, tujuan, suka, tidak suka, perasaan, pikiran, emosi, sensasi, dan sebagainya (yang Anda yakini sepenuhnya adalah milik Anda). Anda memiliki kepribadian “mimpi”, identitas “mimpi”, dan cerita “mimpi”. Anda bahkan dapat terbangun di dalam mimpi, menjalani kehidupan sehari-hari yang penuh mimpi, dan pada malam hari (dalam mimpi), Anda pergi ke “tidur”. Meskipun ada beberapa perbedaan yang tampak, mimpi dan keadaan terjaga sangat mirip. Ya, ada ketidakkonsistenan dalam keadaan mimpi yang mungkin Anda anggap tidak mungkin dalam keadaan terjaga, tetapi ini hanya terlihat saat bangun tidur. Saat Anda bermimpi, semuanya tampak baik-baik saja bagi Anda—hanya setelah bangun Anda menyadari betapa mustahil dan tidak logisnya mimpi itu sebenarnya. Mungkin ada beberapa kemajuan spiritual dalam keadaan ini, tergantung bagaimana Anda mendekatinya. Oleh karena itu, keadaan bermimpi adalah alam pikiran bawah sadar.

Selain kedua kondisi ini, ada juga kondisi ketiga: tidur nyenyak tanpa mimpi. Inilah yang disebut keadaan “padam” atau “tidak sadar”, di mana tidak ada apa-apa. Pikiran telah dimatikan dan satu-satunya hal yang dialami adalah kehampaan—ketiadaan pengalaman. Tidak ada objek untuk dialami; hanya ada kekosongan kosong dari ketiadaan.

Istirahat yang paling dalam dan “keluar dari sini” yang dapat dicapai oleh manusia pada umumnya; itu meremajakan. Ini karena kesadaran individu untuk sementara dinonaktifkan selama keadaan itu. Saat Anda tidur, dalam tidur nyenyak, ego dalam keadaan mati suri, seolah-olah sedang berhibernasi. Ia kemudian akan tampak kembali dan menyusun kembali dirinya sendiri karena keinginannya untuk mengalami, hidup, dan eksis sebagai entitas yang terpisah. Karena masih ada daya hidup di dalam tubuh Anda, Anda jelas tidak mati, tetapi Anda tidak sadar dengan cara yang menyerupai kematian.

Dari sudut pandang pikiran yang belum tercerahkan, keadaan ini adalah kegelapan total dan ketiadaan, tetapi tampaknya ini adalah satu-satunya cara agar semua makhluk hidup yang belum mengalami realisasi dapat sejenak mundur ke Sumber, mengalami kesatuan tak sadar dengan Tuhan. Tampaknya kebalikan dari “Aku”, kebalikan dari sadar dan hadir. Itu adalah ketiadaan—ketiadaan dari totalitas ego dan pikiran. Tidak ada kemajuan spiritual dalam keadaan ini.

Apakah ada keadaan lain selain ketiganya? Ya, yang disebut keadaan supra dari makhluk tercerahkan. Inilah Sahaja Samadhi , keadaan alamiah. Keadaan ini adalah keadaan permanen bagi mereka yang menyadari sifat sejati mereka. Ciri utamanya adalah tidak adanya rasa menjadi pelaku; tidak adanya perasaan seperti entitas yang terpisah dari seluruh dunia (tanpa ego).

Bagaimana dengan Turiya ?

Ada banyak salah tafsir, teori, dan konseptualisasi tentang apa itu Turiya atau bukan Turiya. Sebagian besar ajaran ini hanyalah labirin spiritual yang tidak membantu para pencari sejati. Turiya mungkin subjek yang sulit untuk dijelaskan, tetapi saya akan mengklarifikasinya dengan cara yang paling sederhana sambil tidak pernah melupakan tujuan utamanya.

Sistem tubuh-energi-pikiran manusia mengalami perubahan besar selama perjalanan “menuju” Realisasi Diri, terlebih lagi setelah menyadari sifat sejati mereka. Perubahan ini diabadikan oleh wewangian yang terpancar dari kesadaran murni, dari substratum, dari Tuhan sendiri.

Turiya dapat dikatakan sebagai hasil dari penyatuan wewangian tersebut ke dalam kehidupan makhluk tercerahkan, sehingga mengubah mereka. Jika pencerahan adalah realisasi non-dual dari Kebenaran, Turiya adalah hasil dari pengunduhan Kebenaran itu ke dalam sistem tubuh-energi-pikiran Anda. Unduhan ini istimewa karena tidak hanya memperbarui sistem operasi Anda, tetapi juga perangkat keras itu sendiri menjadi sistem super yang benar-benar baru.

Sudah pasti bahwa Anda, sebagai sistem tubuh-energi-pikiran, tidak dapat mengunduh Kebenaran itu sendiri. Apa yang diunduh setelah Realisasi Diri adalah sistem operasi dan perangkat keras Tuhan yang akan menggantikan sistem operasi dan perangkat keras manusia Anda saat ini. Pembaruan ini adalah integrasi Turiya yang berkelanjutan ke dalam hidup Anda.

Ini adalah keadaan manifestasi tertinggi yang dapat diungkapkan oleh manusia, dan ia memiliki semua kualitas ketuhanan seperti kedamaian, cinta, kebahagiaan, kebijaksanaan, kelengkapan, dan sebagainya. Oleh karena itu, ini disebut “Keadaan Tuhan”. Ini adalah Turiya , “Yang Keempat.” Ini disebut “Keempat” karena berada di luar kondisi terjaga, bermimpi, dan tidur — ini mengubah ketiganya menjadi Kondisi Tuhan [1] .

Dalam keadaan ini, pikiran individu beristirahat di sumbernya sendiri, Sat-Chit-Ananda (Menjadi-Kesadaran-Kebahagiaan), atau dikenal sebagai Hati Spiritual [2] . Di sini, manusia sama sekali bukan lagi manusia—melainkan inkarnasi Tuhan yang hidup. Turiya benar-benar merupakan perwujudan kebahagiaan dan kebijaksanaan tertinggi yang dapat dicapai manusia.

Perbedaan (dan ini yang besar) antara tidur nyenyak tanpa mimpi dan Turiya adalah bahwa Anda mempertahankan kesadaran penuh di Turiya , sementara Anda tidak sadar selama tidur nyenyak. Oleh karena itu, tidur lelap dengan kesadaran = Turiya .

Tapi, Anda mungkin bertanya, jika tidak ada apa-apa saat tidur lelap, bagaimana bisa ada Turiya saat terjaga?

Jika pencerahan berarti ketidakmampuan untuk memahami dunia dan memiliki pengalaman dualistik Kesadaran dinamis, maka pencerahan akan terbatas. Dari sudut pandang pikiran, dunia ini, Anda dapat mengatakan bahwa keadaan terjaga memiliki keterbatasannya karena itu adalah keadaan dualistis yang rentan terhadap penderitaan dan ketidakpuasan. Tetapi Anda juga dapat mengatakan bahwa tidur nyenyak memiliki keterbatasan karena kurangnya kesadaran, ketidakmampuannya untuk memahami dunia dan kehampaan/kegelapan yang tampak.

Lalu bagaimana non-dualitas dapat merasakan dualitas?

Di situlah Turiya berperan. Turiya adalah bagaimana dualitas dapat dirasakan tanpa pemisahan—sebagai suatu keutuhan. Anda menganggap dunia sebagai Anda, sebagai Diri, tanpa pemisahan, seolah-olah tidur nyenyak bergabung dengan terjaga, yang berasal dari “Tidur Bangun”.

Itu adalah kesadaran dan hadir dalam ketiadaan — pengakuan akan cahaya Kesadaran dalam kegelapan total ketiadaan, dan pengakuan akan Keberadaan di alam nyata dari non-makhluk. Seolah-olah keadaan tidur nyenyak diresapi dengan kesadaran, kehadiran, dan cahaya.

Keadaan Tuhan ini secara otomatis “dialami” setiap hari oleh setiap orang yang sedang tidur lelap, tetapi mereka tidak menyadarinya. Itu menanamkan dan mengubah semua keadaan menjadi makhluk yang sadar, tetapi proses integrasinya terjadi hanya setelah Kundalini kita tiba dan bersemayam di Hati Spiritual (Realisasi Diri).

Keadaan ini ditandai dengan kebahagiaan yang kuat dan kuat, di samping kedamaian yang dalam dan kebijaksanaan tanpa akhir. Beberapa pencari yang telah memiliki apa yang biasanya disebut “pengalaman pencerahan” memang mengalami kilasan Keadaan Tuhan sampai batas tertentu, tetapi kemudian perasaan egois mereka muncul kembali dan melapiskan dirinya pada lapisan dasar makhluk yang bahagia ini. Selama masa-masa itu, sebelum kembalinya ego, mereka mungkin merasa seperti “Bagaimana mungkin tidak seperti ini? Ini sangat alami dan menyenangkan. Tidak pernah tidak seperti ini…”. Ini benar sekali. Bagaimana bisa tidak seperti itu? Jika Anda pernah melihat sekilas seperti itu, Anda harus menyelidiki secara mendalam mengapa tidak selalu seperti itu.

Di dunia relatif, Turiya hanya bermanifestasi pada manusia melalui “Aku-Transensendental” [3] . “Aku” ini tidak sama dengan “aku-ego” karena ia tidak menderita dan tidak menganggap segala sesuatu terpisah dari dirinya sendiri, melainkan mengalami hidup sebagai kehadiran Keesaan yang terus-menerus dan menyatu. Turiya sebenarnya adalah inti dari “Aku-Transendental”, emanasi pertama dari Yang Mutlak tidak berwujud: Kebahagiaan Murni (Ananda ).

Setelah tubuh fisik, energi, dan mental mampu mempertahankan kebahagiaan dan kedamaian tingkat tinggi yang mengalir tanpa henti dari “dalam”, beberapa tingkat Turiya telah terintegrasi, dan itu menjadi “kondisi aktif” alami dari eksistensi tubuh-pikiran Anda. Ini adalah keadaan alami manusia. Ekspresi kita telah menjadi benar-benar transparan, sepenuhnya ilahi, dan menurut apa pun yang seharusnya kita lakukan di dunia ini, kendaraan kita secara bertahap akan berubah menjadi instrumen terbaik untuk tarian kehidupan tertentu itu.

Bab 3

Berbagai Tingkat Integrasi Turiya

Hanya ada satu Turiya, tetapi ada tingkatan yang berbeda mengenai manifestasi dualistiknya. Agar tumbuh secara mendalam, pikiran, energi, dan tubuh Anda harus sepenuhnya distabilkan dan muncul ke dalam Keadaan Tuhan, yang akan menembus hidup Anda dengan lebih kuat dan kemudian mengubah sarana ekspresi Anda menjadi perwujudan Tuhan yang sempurna. Ini bukanlah sesuatu yang “selesai”, melainkan dibiarkan terjadi secara alami dengan berada dalam keadaan penerimaan dan “kebahagiaan yang meleleh”.

Cahaya Kesadaran pertama-tama meresapi pikiran, dan baru setelah itu meresapi tubuh energik dan fisik. Proses integrasi Turiya secara progresif bergerak dari tingkat yang lebih halus ke tingkat yang lebih kasar. Seluruh spektrum keberadaan kita harus benar-benar dibebaskan dari kerapatan dan perasaannya yang biasa sebagai entitas yang terlokalisasi (termasuk tindakan persepsi itu sendiri). Integrasi dan asimilasi progresif ini terjadi di dunia manifes objektif, dan dengan demikian tunduk pada waktu.

Berikut ini adalah derajat integrasi Turiya. Tidak ada lagi perasaan “aku” yang terpisah di salah satu dari mereka, oleh karena itu tidak satu pun dari tingkatan ini adalah makhluk yang tercerahkan dengan asumsi sebagai pelaku atau memiliki ego-diri. Perlu diingat bahwa meskipun semua tingkatan ini adalah makhluk tercerahkan, tidak ada tingkatan pencerahan [4].

Ada derajat manifestasi dualistik dari Kebenaran dalam kendaraan kita saat ini dalam korelasi langsung dengan integrasi tubuh-energi-pikiran dari cahaya Kesadaran, dan kemampuannya untuk bertindak sebagai cermin dan memantulkan Realisasi Diri melalui ekspresinya. Derajat integrasi Turiya ini biasanya diinterpretasikan secara keliru sebagai “derajat Pencerahan”, sehingga menimbulkan perbandingan yang biasa dilakukan para pencari antara Guru yang tercerahkan.

Tingkat 4 bukanlah benar-benar “integrasi” dari Turiya , di dalam dan dari dirinya sendiri, tetapi lebih seperti penyerapan total dari semua relatifitas ke dalam Absolut yang tidak berwujud. Saya hanya menyebutnya “level” secara sederhananya.

Derajat integrasi Turiya :

(Tingkat 1)

Memandang dualitas dengan arus kegembiraan permanen yang tumbuh dan berkembang. Tubuh dan pikiran sepenuhnya aktif. Masih ada samskara dan vasana . Pola atau reaksi yang muncul dari kebiasaan lama masih bisa terjadi, tetapi tidak membawa penderitaan. Ada pengetahuan batin yang intuitif tentang sifat sejati seseorang, yang lebih kuat daripada keyakinan sebelumnya sebagai “pria, usia 40 tahun, lahir di Barcelona” atau “wanita, ibu, dan pengacara dari Massachusetts” misalnya. Pengetahuan ini tidak pernah pudar mulai sekarang, dan tidak didasarkan pada keyakinan atau pemikiran. Ada juga pandangan terang langsung di luar pikiran tentang kesatuan segala sesuatu .

Ungkapan “Segalanya adalah Diri” benar-benar dipahami dan diketahui dengan sangat jelas dan pasti. Itu bukan konsep atau anggapan; itu murni pengetahuan. Seolah-olah Anda berada dalam mimpi, sepenuhnya sadar dan menyadari fakta bahwa segala sesuatu yang ada hanyalah pikiran Anda, terwujud dalam semua bentuk itu. Kegembiraan agung Turiya sangat memengaruhi keberadaan relatif Anda, dan itu mulai mengubah seluruh esensi dari ekspresi dualistik Anda. Maya benar-benar disadari sebagai Diri.

Ada kontinum persepsi yang tidak dibedakan di mana meskipun mampu membedakan objek, tidak ada batasan yang dibuat dalam kaitannya dengan esensi mereka. Seseorang seperti tukang emas yang, bukannya melihat semua bentuk perhiasan yang berbeda , hanya melihat emas.

Ada pertumbuhan penyatuan daya hidup individu dengan daya hidup kosmis; ini adalah curahan Cosmic Kundalini ke dalam kendaraan ekspresi kita yang termanifestasi—Rahmat menanamkan pada atom kita dengan kebahagiaan ilahi yang tak bernoda. Pikiran benar-benar telah diubah menjadi pikiran transendental yang murni.

(Tingkat 2)

Semua hal di atas, dengan tambahan bahwa dualitas dirasakan dengan kegembiraan, cinta, dan kedamaian yang lebih kuat [5] . Memang jauh lebih kuat dari level 1 dalam hal ini. Cosmic Kundalini telah terintegrasi ke tingkat yang lebih besar ke dalam kendaraan ekspresi kita yang terwujud. Atom kita terbuat dari Rahmat itu sendiri. Kekuatan hidup dan tubuh energik telah benar-benar diubah menjadi emanasi murni makhluk.

Tubuh dan pikiran mungkin aktif sepenuhnya, tetapi ada penurunan keinginan untuk melakukan aktivitas atau melakukan apapun. Makhluk yang tercerahkan menikmati dan semakin memilih untuk duduk diam daripada bertindak. Masih ada samskara dan vasana “positif” halus , kebiasaan halus yang telah dikumpulkan oleh tubuh dan cita, tetapi hal ini tidak menghalangi perwujudan pengungkapan Kebenaran.

(Tingkat 3)

Memandang dualitas seolah-olah itu adalah dunia yang seperti mimpi, dengan kebahagiaan, cinta, dan kedamaian universal yang permanen dan tidak terlokalisasi. Fisik dalam keadaan terjaga tampaknya terbuat dari “hal-hal mimpi”.

Dualitas saling berhubungan sebagai medan pengalaman yang menyatu. Entah tidak ada pusat perhatian yang terlokalisasi, dalam hal ini pengalaman berlangsung secara impersonal dengan cara non-lokal, seolah-olah tidak ada subjek sama sekali (“tidak-aku”); atau, pusat perhatian di dalam tubuh memperluas jangkauannya, dan tampaknya terhubung dengan manifestasi dari sudut pandang tertentu itu (“Aku” yang mencakup segalanya) [6] .

Sama seperti ketika Anda merasakan dan merasakan kehadiran tangan Anda, dan Anda tahu bahwa itu terhubung dengan Anda, Keesaan dapat dialami dari sudut pandang tubuh-pikiran. Misalnya, Anda melihat sebatang pohon, dan Anda merasakan dan melihat pohon itu sebagai diri Anda sendiri—seolah-olah Anda merasakan dan melihat tangan Anda sendiri. Anda tahu dan merasakan bahwa semuanya terhubung dan Satu ( sudut pandang ” pusat -di sini namun keliling-di mana-mana” ini juga dapat terjadi di tingkat 2 integrasi Turiya , tetapi dalam hal itu, ini bukan sudut pandang permanen dari tubuh -pikiran).

Inilah cara lain untuk mencoba menjelaskan hal ini:

Setiap kali Anda akhirnya mendapatkan hal baru yang sudah lama Anda inginkan, Anda merasa ada hubungannya dengan itu. Katakanlah Anda mendapatkan mobil mahal baru yang sudah lama Anda inginkan: Anda merasa hebat setiap kali Anda berada di dalamnya atau memikirkannya, Anda terlalu bersemangat dengannya, dll.

Jika kita masuk lebih dalam, kita dapat melihat bahwa hubungan ini bahkan lebih kuat dengan hewan peliharaan misalnya. Dan dengan putra, putri, atau pasangan hidup yang dicintai, itu lebih jauh lagi. Cinta yang Anda rasakan untuk orang penting itu adalah hubungan mendalam yang melampaui segala hal fisik. Jika cinta Anda kepada mereka cukup kuat, Anda merasa terhubung dengan mereka, seolah-olah Anda hanya satu.

Pengalaman cinta seperti itu sekilas tentang cinta Keesaan. Cinta benar-benar pengalaman persatuan. “Aku” Anda yang dulunya terasa seperti entitas yang terpisah, sekarang menjadi “Aku-Transendental” yang memiliki jangkauan luas yang melingkupi segala sesuatu yang lain, bukan hanya tubuh. “Aku-Transendental” ini memiliki seluruh ciptaan sebagai tubuhnya.

Kesinambungan persepsi yang tak terbedakan telah melenyap sejauh mungkin, sedemikian rupa sehingga meskipun masih mampu membedakan objek, tidak ada batasan yang dibuat dengannya dalam kaitannya dengan apa yang biasanya disebut “Aku” (dalam hal ini, dalam kaitannya dengan “Aku-Transendental”). Tubuh, yang merupakan ekspresi manusia yang paling kasar, akhirnya telah sepenuhnya diresapi dan dijenuhi dengan cahaya Kesadaran, mengubah persepsi itu sendiri menjadi keutuhan yang transparan dan reflektif.

“Segalanya adalah Diri” tidak lagi dalam “keadaan” seseorang karena seseorang bahkan kehilangan perbedaan antara “segalanya” dan “Diri”. Hanya ada Diri. Ini lebih dari pengetahuan yang mendalam, seolah-olah panca indera runtuh tanpa runtuh, mencakup segalanya kecuali menjaga kejernihan untuk melakukan aktivitas dan membedakan berbagai hal.

Tubuh dan pikiran sebagian aktif, tetapi sulit untuk melakukan aktivitas atau melakukan apa pun karena kebahagiaan menjadi terlalu kuat untuk memungkinkan keterlibatan dengan kehidupan sehari-hari yang normal. Seringkali, makhluk yang tercerahkan lebih suka duduk diam daripada bertindak, meskipun mereka dapat berbicara, berinteraksi, dan bergerak jika mereka mau. Masih ada pengkondisian sattvic (murni) halus yang akan merugikan untuk terkikis karena sesuai dengan tubuh-pikiran tertentu ini dan potensi takdirnya untuk mengungkapkan Kebenaran di dunia ini.

(Tingkat 4)

Membicarakan hal ini tidak sesuai dengan realitasnya. Ini seperti mencoba menyampaikan keheningan melalui kata-kata. Meskipun demikian, upaya untuk menyampaikan level ini akan dilakukan:

Dualitas tanpa persepsi, sepenuhnya muncul dan terserap oleh kegiuran dan kedamaian. Entah tubuh terbaring seperti mayat dan ada “ketidakmampuan” untuk berbicara, berinteraksi, bergerak atau berpikir; atau jika ada perbuatan yang dilakukan, itu seperti anak kecil yang minum susu sambil tidur, dan tanpa sadar apapun (tidak ada kesadaran tubuh) [7] . Ada kesadaran non-lokal dan non-temporal. Tidak ada samskara, tidak ada vasana . Seolah-olah Anda sudah mati, tetapi Anda masih hidup. Tidak ada “Aku-Transendental”, tidak ada apa-apa. Semua tingkatan baik sisa halus individualitas maupun transendensi ekstrem telah dimusnahkan seluruhnya.

Bisa dikatakan ada vasana terakhir yang terdiri dari tingkat individualitas semu yang sangat halus. Ini tetap dalam potensi, sehingga memungkinkan untuk berinteraksi dan memahami dunia melalui “Aku-Transendental” jika manusia ini berfluktuasi antara level 4 dan level 3. Dengan demikian, jika makhluk berada terlalu lama dalam keadaan penuh- ditiup Turiya , maka vasana yang sangat halus ini dapat kembali dari potensi kembali ke ketiadaan. Kejadian seperti itu sangat jarang terjadi.

Tidak ada “Segalanya adalah Diri” atau “Hanya Diri yang ada”, karena segala sesuatu dalam relativitas runtuh. Tidak ada segalanya atau bahkan “Diri”. Itu hanyalah konsep yang diciptakan oleh pikiran kita yang terbatas untuk membantu pemahaman dan integrasi kita akan Kebenaran ke dalam keberadaan manusia kita yang sementara.

Pahami bahwa derajat Turiya ini tidak sama dengan Kevala Nirvikalpa Samadhi (penyerapan sementara tanpa bentuk di mana ego kembali sesudahnya). Di Turiya , makhluk yang Mewujudkan Diri selalu terserap dalam Diri. Tidak peduli apakah mereka sedang tidur, bergerak, duduk, berbaring seperti mayat, berbicara, tertawa, menangis, dll. Itulah Yang Mutlak.

Namun, apa yang disebutkan di sini terkait dengan keadaan tubuh-pikiran di dunia nyata ini. Yang Mutlak, yang merupakan Diri sejati dari makhluk yang tercerahkan, tidak tunduk pada keadaan; sebaliknya, adalah pasangan relatif yang terdiri dari kendaraan mental, energi, dan fisik. Oleh karena itu, ini hanyalah cara untuk menunjukkan pemahaman tentang ekspresi dualistik dari makhluk semacam itu.

Perwujudan terkuat Turiya saat aktif dan terlibat di dunia adalah level 3, meskipun beberapa orang bijak dan pikiran tubuh orang suci telah bertukar antara level 3 dan 4 sepanjang hidup mereka. Oleh karena itu, manifestasi tertinggi kehidupan sebagai manusia bukanlah tingkat 4, dan mudah untuk menyadari mengapa — dalam “keadaan” seperti itu, pikiran murni tetap sepenuhnya terserap dalam sumbernya, tanpa ragu, dan tidak ada percikan kesadaran relatif yang “keluar.” Hanya di tingkat 1, 2 dan 3 kesadaran masih tampak sebagai manifestasi terpadu dari pandangan pikiran ekstrovert.

Meskipun tidak sempurna, gambaran film bioskop akan membantu memperjelas pemahaman:

KeadaanPemutaran filmLampu
Keadaan BangunYaMati
Keadaan MimpiYaMati
Tidur nyenyakTidakMati
TuriyaYaHidup
Turiyatita (tingkat 4)…..Hidup, terang maks.

Setiap kali lampu mati, itu adalah tanda ketidaktahuan yang jelas. Setiap kali lampu menyala, itu adalah tanda realisasi yang jelas. Semakin dalam Turiya meresapi hidupmu, semakin kuat cahayanya. Dengan cahaya redup, Anda masih bisa sedikit melihat filmnya, tetapi Anda tahu itu adalah permainan kesadaran, ilusi, sesuatu yang sementara; dengan lampu pada terang maksimum, Anda tidak akan melihat film apa pun—Anda hanya melihat cahaya. Dikotomi apakah ada film atau tidak ada film telah dilampaui.

Makhluk langka yang realisasinya mendorong mereka ke level 4 mungkin harus secara alami mengintegrasikan Turiya kembali ke level 3. Oleh karena itu, ini bukan penurunan peringkat, tetapi peningkatan kemampuan mereka untuk beroperasi di dunia dan secara alami membantunya berkembang dan berkembang menjadi dunia yang kesadaran kolektifnya lebih dalam. Tingkat ekspresi yang paling umum untuk Guru dan Guru yang tercerahkan adalah tingkat 1 dan 2. Beberapa berada di tingkat 3, dan sebagian besar tidak diketahui publik dan juga tidak tersedia bagi khalayak umum.

Banyak dari mereka yang berada di level 1 dan 2 terlalu aktif mengajar setelah menyadari sifat asli mereka (level 1) dan integrasi alami Turiya ( level 2 dan 3) tidak pernah “terjadi”. Mungkin tujuan mereka di dunia ini sedemikian rupa sehingga mereka harus bertahan dengan tingkat perwujudan Kebenaran mereka saat ini sampai akhir hayat mereka atau bahkan sampai mati.

Setelah Anda mencapai level 3, tidak ada cara untuk kembali ke level 1 dan 2. Kehidupan dan dunia akan tampak terlalu tidak berarti dan ilusi bagi Anda untuk memiliki keinginan untuk berpartisipasi aktif di dalamnya. Kebahagiaan terlalu intens di level 3 untuk menjalani kehidupan yang aktif. Di level 1 Anda bisa melakukannya dengan sempurna, tetapi setelah level 2 itu menjadi “lebih sulit”.

Sebagian besar makhluk tercerahkan, pada saat kematian fisik mereka, secara alami “bergerak” ke tingkat 4 dan melenyapkan keberadaan transendental mereka selamanya. Pengecualian yang langka adalah mereka yang tetap dengan perwujudan halus di alam yang lebih halus dari keberadaan relatif, untuk tujuan universal tertentu, sampai mereka secara alami “bergerak” ke tingkat 4.

Tingkat 4 dalam kemegahannya juga bisa disebut Turiyatita , “Melampaui Tingkat Keempat.” Ini karena di Turiyatita , yang identik dengan sudut pandang Mutlak, tidak ada dunia, tidak ada tubuh, tidak ada kehidupan, tidak ada manusia, tidak ada alam semesta, tidak ada cita, tidak ada pikiran, tidak ada apa pun, tidak ada apa-apa, tidak ada apa-apa. tidak ada keadaan terjaga, tidak ada keadaan bermimpi, tidak ada tidur lelap, dan tidak ada derajat integrasi Turiya . Turiya dengan demikian adalah Turiyatita karena pada tingkat tertinggi dari integrasinya, tidak ada integrasi dan tidak ada persepsi juga bukan non-persepsi. Itu di luar kehadiran dan ketidakhadiran karena dari sudut pandangnya, segala sesuatu dan tidak ada yang runtuh. Ini berarti bahwa kita dapat memberi label tingkat 1, 2, 3, dan 4 dari integrasi Turiya sebagai Turiya , tetapi kita hanya dapat memberi label Turiyatita sebagai tingkat 4, karena penyisihan yang jelas untuk tumpang tindih dari ciptaan yang diwujudkan tidak lagi ada dan tidak pernah ada di perspektif mutlak seperti itu. [8]

Catatan kaki:

[1] Karena kebiasaan lama kita untuk mempertimbangkan keadaan terjaga, mimpi dan tidur secara nyata, kita menyebut keadaan Realisasi Diri “Yang Keempat.” Nyatanya, tidak ada keadaan keempat karena sekali keadaan keempat, itu adalah satu-satunya keadaan, dan dengan demikian kehilangan maknanya sebagai keadaan keempat (semua keadaan terungkap sebagai Turiya itu sendiri). Namun, untuk memfasilitasi penjelasan dan komunikasi dalam buku ini, saya akan terus menyebutkan Turiya dan tiga keadaan bagian lainnya dari perspektif konvensional yang terdiri dari empat keadaan.

 [2] Lihat Kundalini Exposed, bab 12 “The Secret Kundalini Throne” dan Glosarium.

[3] Lihat Kundalini Exposed, bab 12 “The Secret Kundalini Throne” dan Glosarium.

[4] Lihat Yoga Kesadaran, bab 8 “Spiritualitas Bisa Menjadi Taman Bermain Ego.”

[5] Kegembiraan, cinta, dan kedamaian ini jelas masih permanen (seperti di level 1). Ini mirip dengan memperbesar ukuran cermin (tubuh-energi-pikiran) yang memantulkan matahari (kesadaran murni). Ukuran matahari tidak berubah, tetapi cermin yang lebih besar dapat memantulkan lebih banyak sinar matahari.

[6] Meskipun tampaknya seperti dua jenis contoh yang berbeda, keduanya sama. Tidak memiliki “aku” menyiratkan bahwa pikiran yang mengamati menyatu dengan keseluruhan; dan “Aku” yang mencakup segalanya menyiratkan bahwa tidak ada “Aku” seperti yang kita kenal (entitas terpisah).

[7] Namun bagi pengamat luar, balita itu akan tampak sedang berakting (minum).

[8] Perspektif seperti itu, meskipun sepenuhnya benar, berada di luar jangkauan semua buku karena tidak ada buku, tidak ada ajaran, tidak ada siswa, tidak ada pencari, dan tidak ada makhluk tercerahkan darinya; maka tidak akan ada yang perlu dikatakan. Bahkan tidak tepat menyebutnya sebagai “perspektif”. Rujuk ke Beyond Shiva atau Ashtavakra Gita untuk bacaan non-linier mendalam tentang hal ini.

Pertanyaan Pendalaman:

  1. Apa itu Turiya?
  2. Sejauh mana Turiya “Anda” realisasikan?
  3. Apa perbedaan “Aku-Transendental” dengan “Aku- ego”?
  4. Di tingkatan Turiya mana orang-orang tercerahkan masih tetap berfungsi di tengah dunia?
  5. Apa itu Turiyatita?
  6. Apa yang kiranya perlu Anda lakukan agar praktik spiritual Anda membawa Anda lebih dekat pada puncak pembebasan?

Ini adalah jadwal retreat meditasi yang dipandu oleh Romo J. Sudrijanta, S.J. di Eco-Intercultural Camp (EIC) di Cilember, Jawa Barat, dan beberapa kota lain di Indonesia. Retret meditasi ini diadakan sejak 2008. Romo Sudri adalah seorang Jesuit. Ia mengusai Latihan Rohani Ignatian dan jalan-jalan spiritual dari tradisi Katolik. Beliau juga mempelajari Vipassana, Zen, Chan, Tibetan Meditation, Advaita Vedanta dan berbagai jalan spiritual timur. Beliau dibantu oleh para guru Yoga, healer, dan fasilitator professional terkait praktik kesadaran. 

Retret seminggu dibuka pada pk 15.00 di hari pertama dan berakhir makan siang di hari terakhir. Retret weekend dimulai pk. 11.00 di hari pertama dan ditutup makan siang di hari terakhir.

14 – 19 February 2023: Inner Healing & Transformation – Silent Retreat

20 – 25 April 2023 (Date revised): Spiritual Awakening – Silent Retreat

25 – 30 August: Self Liberation through Self Inquiry – Silent Retreat

1 – 6 September 2023: The Non-Dual Path to Inner Peace and Joyful Freedom – EIC Cilember

5 – 10 December 2023: Union with the Source of Life – EIC Cilember Jawa Barat

12 – 17 December 2023: Transcending the Level of Consciousness – EIC Cilember Jawa Barat

13-15 October 2023 – Simple Path to Inner Peace and Joy – EIC Cilember Jawa Barat

20-22 October 2023 – Simple Path to Inner Peace and Joy – Bojjhanga Bhavana Centre Bali

Pendaftaran online: bit.ly/mtoretreat2023

Informasi: 081365106619 (whatsapp only)

Peserta Silent Retreat 28 Juni – 3 Juli 2022 dengan tema”Self-Liberation” berjumlah 31 orang. Latar belakang peserta: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Free Thinker/Unbeliever. Umur antara 20an- 60an tahun. Domisili: Atambua, Balikpapan, Papua, Bogor, Tangerang, Bandung, Papua, Jakarta.

Dalam skala 1-1000, LoC peserta antara 85-705 kal. Tingkat kenaikan rerata 52.8 point. Kenaikan tertinggi antara 100-145 point dicapai 6 orang. Semoga semua makhluk berbahagia – Gloria in Excelsis Deo.

Beberapa cuplikan testimoni peserta:

“Apa yang kita lakukan di sini biasa, normal, tapi terasa baru.”

“Dengan ‘Power Breathing’, saya baru mengerti nafas ternyata luar biasa.”
“Baru mengerti apa itu Kesadaran.”
“Bisa melihat perspektif baru tentang pengalaman gagal.”

“Saya jadi tahu apa misi hidup saya saat ini.”

“Lapisan-lapisan sampah-sampah saya dibongkar. Pada retret pertama sampah umur 50-60 th; retret sekarang sampah umur 40-50 th.”
“Baru mengerti bahwa hidup saya dalam relasi-relasi, termasuk relasi dengan seseorang yang sarat konflik, adalah relasi yang sempurna.”
“Sebagai seorang hypnotherapist, saya merasa program ini memperkaya praktik hypnotherapi.”

“EIC sangat bagus untuk kalibrasi ulang. Tempat ini membolehkan saya untuk apa saja: menangis, sedih, melepas rasa lelah, menyerap keindahan alam, makan enak, dst.”
“Sesi ‘Embracing the earth’ sangat membebaskan.”
“Memperoleh perspektif baru dalam melihat ‘perasaan tidak dicintai'”.
“Merasakan pembebasan pada sesi sound healing. Susuk di tubuh saya rontok.”
“Belum pernah merayakan Ekaristi sedalam ini.”

By J. Sudrijanta, S.J.

Apakah konsep InterBeing dalam Buddhisme berlawanan dengan konsep penciptaan dalam Teologi Kristiani?

Konsep InterBeing dalam Buddhisme bukan hanya tidak bertentangan, tetapi justru bisa menolong secara lebih baik untuk memahami kebenaran-kebenaran Kristiani yang tersembunyi.

Banyak kekayaan yang saya timba dari pengalaman “crossing over and coming back”. Saya menemukan banyak kemiripan antara apa yang saya pahami dengan pengalaman Paul F. Knitter, sebagaimana termaktup dalam bukunya Without Buddha, I coudn’t be A Christian (2009).

Mari kita rangkum terlebih dahulu inti dari konsep InterBeing dalam Buddhisme. Baru kemudian kita melihat konsep penciptaan dalam Teologi Kristiani.

Hubungan yang Tak-Terpisahkan

Di balik segala fenomena yang terbatas dan terkondisi di alam semesta ini ada Realita Tak-Terbatas yang mendasari dan terus menopangnya. Realita ini disebut Sunyata atau Nirvana dalam Buddhisme.

Beberapa penulis menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk menjelaskan kebenaran yang sama.

Thich Naht Hanh dari tradisi Zen menggunakan istilah InterBeing sebagai pengganti Sunyata. Saling keterhubungan dalam segala hal terus-menerus membuka kemungkinan baru, peluang baru, hidup baru.

Pema Chödrön dari tradisi Buddhisme Tibet lebih suka menggunakan istilah Groundlessness. Tidak ada fondasi yang tetap, tidak berubah, karena segala hal bergerak saling bergantung dengan segala hal lainnya.

Dalam Mahayana kita mengenal ajaran “Nirvana is Samsara”. Terdapat hubungan non-dualitas antara Realita Tak-Terbatas dengan dunia terbatas. “Samsara” menunjuk pada eksistensi yang terbatas, berubah, tidak memuaskan, Dalam dunia yang terbatas inilah kita menemukan Nirvana atau Sunyata, karena “Nirvana adalah Samsara”. Dalam tradisi Mahayana dikatakan, “Emptiness is Form – Form is Emptiness.” Realita transenden Sunyata ditemukan dan terekspresikan dalam bentuk-bentuk konkrit di dunia: manusia, binatang, tanaman, mineral, peristiwa, materi, tubuh, pikiran, perasaan, jiwa. Anda tidak akan bisa memiliki yang satu tanpa yang lain.

Eksistensi VS Keberadaan

Sunyata/InterBeing/Groundlessness/Nirvana bukanlah sesuatu yang “eksis” seperti kita berpikir tentang eksistensi segala hal lainnya. Sementara segala hal lainnya memiliki eksistensi di dalam dan melalui keterhubungan. Sunyata/Nirvana adalah keterhubungan itu. Dalam tradisi mahayana, Sunyata/Groundlessness adalah sebuah proses, proses itu sendiri, yang mana segala hal lainnya memliki eksistensi atau keberadaannya di dalam dan melaluinya.

Sunyata/Nirvana adalah semacam bidang energi. Inilah bidang yang memungkinkan segala hal mendapatkan dayanya untuk saling terhubung dan saling berproses menjadi. Bidang energi ini “eksis” atau ada dengan dan melalui semua aktivitas di dalamnya dan tidak ada tanpa aktivitas ini. Namun tidak bisa direduksi ke dalam aktivitas ini. Sunyata atau InterBeing adalah Realita yang jauh lebih besar daripada kumpulan bagian-bagiannya.

Dari insight InterBeing ini, mari kita melihat kebenaran-kebenaran Kristiani tentang hubungan antara ciptaan dan sang Penciptanya.

Nama lain untuk Allah

Pengarang Injil Yohanes menggambarkan bahwa “Allah adalah Kasih” (Yoh.4:8) Allah bukanlah sosok atau tokoh yang mengasihi, tetapi Ia adalah Kasih itu sendiri. Allah di sini bukan digambarkan sebagai subjek, tetapi sebagai aktivitas atau kata kerja.

Begitu pula InterBeing. Bisakah kita mengambil InterBeing sebagai deskripsi siapa Allah? Bukankah hakikat Cinta itu sendiri adalah InterBeing?

Allah Trinitas, Allah Bapa-Allah Putera-Allah Roh Kudus, hidup selalu dalam inter-relasi, InterBeing. Allah Putera tidak bisa ada tanpa Allah Bapa; tidak ada Allah Bapa dan Allah Putera tanpa Allah Roh Kudus.

Meister Eckhart (seorang mistik Katolik abad 14) membedakan antara Inti Keallahan (the Godhead), sebelum munculnya ciptaan, dan Allah (God) sebagai Sang Pencipta. Ketiganya tak terpisahkan. Tidak ada eksistensi ciptaan tanpa Keberadaan Allah (God) dan tidak ada Allah (God) yang “aktif mencipta” tanpa Inti Keallahan (the Godhead) yang “diam”. Eckhart mengatkan, “The Ground of Being is the Ground of God – the Ground of God is the Ground of Being.”

Diperkaya oleh perspektif Meister Eckhart dan Pema Chödrön, saya menyebut ‘the Godhead” sebagai “the Groundless Ground of InterBeing.” Dalam perspektif InterBeing, kita bisa mengatakan, “The Groundless Ground of InterBeing is the Groundless Ground of God – The Groundless Ground of God is the Groundless Ground of InterBeing.”

Bukankah InterBeing bukan hanya menjadi landasan hubungan antar ciptaan, tetapi juga landasan hubungan ketiganya: ciptaan – Allah – Inti Keallahan?

Membandingkan dengan Paul Tillich dan Meister Eckhart tentang konsep “the Ground of Being”, Paul F. Knitter juga mengemukakan bahwa Allah (God, the Creator) bukan sekedar “the Ground of Being”, tetapi “the Ground of InterBeing”.

Allah adalah aktivitas, bukan sosok yang tinggal di suatu tempat tertentu. Di dalam Dia, kita hidup, bergerak, dan ada (Kis.17:28). “Satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua.” (Ef.4:6).

Eksistensi dan Ekstensi

Allah mencipta tidak seperti seorang tukang kayu menciptakan kursi atau meja. Kursi atau meja kayu terpisah dari si tukang kayu. Sang Pencipta tidak bisa berdiri terpisah dari ciptaannya. Eksistensi ciptaan adalah ekstensi dari Pencipta. Keduanya berbeda tapi tak bisa dipisahkan.

Seperti air sebagai hakikat dari es. Begitu pula Buddha sebagai hakikat dari ciptaan. Bukankah hubungan pencipta dan ciptaan tak bisa dipisahkan seperti air dan es?

Eksistensi VS Keberadaan/Yang Ada

Ciptaan memiliki eksistensinya dari Allah. Kita bisa menyebut kita ini eksis (ex – keluar; sistere – berdiri). Tetapi kita tidak bisa menyebut Allah eksis. Allah tidak bisa eksis seperti kita ciptaan. Lebih tepat kita mengatakan Allah adalah Kehadiran itu sendiri (God is Presence) atau Allah adalah Yang Ada (God is). “Eksistensi” (ciptaan) dan “Keberadaan” (God Is) atau “Kehadiran” (God is Presence) adalah InterBeing.

Partisipasi

Teori Big Bang mendeskripsikan beberapa moment pertama eksistensi, tetapi tidak menjelaskan moment awali eksistensi. Moment awali ini dikemukakan dalam teori “creatio ex nihilo” (penciptaan dari ketiadaan).

Pada awal mulanya, Allah mencipta dari ketiadaan. Meskipun Allah mencipta dari ketiadaan, Karl Rahner (1904-1984) menjelaskan, bahwa penciptaan merupakan proses pengkomunikasian diri Allah sendiri sebagai Cinta terhadap ciptaan sehingga ciptaan mampu menerima dan menanggapiNya. Rahner menyebut manusia-ciptaan sebagai “pasangan sejati” Allah Sang Pencipta. Bukankah tidak berlebihan menyebut jalinan hubungan ini sebagai InterBeing?

“Allah ingin mengomunikasikan diri-Nya sendiri, mencurahkan kasih yang menjadi diri-Nya sendiri. Itu adalah yang pertama dan terakhir dari rencananya yang sebenarnya dan karenanya juga dari dunianya yang sebenarnya. Segala sesuatu yang lain ada sehingga satu hal ini mungkin: keajaiban abadi Cinta tak terbatas. Maka Allah menciptakan makhluk yang dapat dicintai-Nya: Dia menciptakan manusia. Dia menciptakannya sedemikian rupa sehingga dia dapat menerima Cinta yang adalah Allah itu sendiri, dan bahwa dia dapat dan harus pada saat yang sama menerimanya apa adanya: keajaiban yang selalu mencengangkan, hadiah yang tak terduga, […] Maka dalam hal kedua ini Allah harus menciptakan manusia sedemikian rupa sehingga cinta tidak hanya tercurah secara cuma-cuma dan tak terduga, tetapi juga agar manusia sebagai pasangan sejati, sebagai seseorang yang dapat menerima atau menolaknya, dapat mengalami dan menerimanya sebagai peristiwa dan keajaiban yang tak terduga. tidak berutang padanya, manusia sejati.” (Theological investigations, vol. 1, p.310-311, Karl Rahner, trans. Fergus Kerr, 1950)

Thomas Aquinas (1225-1274) lebih dulu mengemukakan pentingnya partisipasi dari ciptaan pada kehidupan ilahi demi kesempurnaan ciptaan. Allah bersifat transenden sekaligus imanen. Ia adalah Penyebab Pertama dan Universal yang tidak mengisolasi diri dari dunia. Ia benar-benar hadir pada ciptaan sebagi sumber aktualitas penyempurnaannya. Ciptaan berada di bawah tatanan ilahi dan dalam kebebasan berpartisipasi dalam tatanan ilahi yang adalah Allah sendiri.

Dalam bahasa non-dualistik, Allah adalah Kasih– Kehadiran, Keberadaan, InterBeing– itu sendiri; dan pasangan tak terpisahkan dari Kasih itu bernama manusia dan segala ciptaan. *

Kelahiran Kembali

By J. Sudrijanta, SJ

“Apa yang tidak berawal dan tidak berakhir sudah, sedang, dan akan selalu terlahir Saat Ini.”

1

Apa yang ajaib dari kelahiran Kristus? Terinspirasi oleh St Agustinus dan Meister Eckhart, mari kita membuka tabir misteri inkarnasi.

Jesus lahir dari seorang ibu tanpa bapak. Setelah melahirkan, ia tetap perawan. Itu berarti yang dilahirkan tidak tercemar oleh ketidakmurnian.

Kristus lahir dari Bapa tanpa ibu. Siapakah bisa mengerti “Bapa melahirkan tanpa ibu”?

Kristus dan Bapa adalah satu. Kristus hidup dalam keabadian dalam Bapa. Kini Bapa melahirkan Kristus dalam keabadian. Bagi pikiran manusia, kelahiran adalah awal dan kematian adalah akhir. Tetapi kelahiran Kristus dari Bapa tidak berawal dan tidak berakhir. Ia lahir tanpa mengenal waktu. Ia lahir sebagai Yang Abadi dari Yang abadi. Ia dan Bapa sama-sama abadi.

Anda tidak bisa mencari kapan Kristus dilahirkan. Karena Kristus tidak dilahirkan dalam rentang waktu. Kitab suci menyebut, “Hari ini telah lahir bagimu Juru Selamat, yakni Kristus Tuhan…” “Hari ini” yang dimaksud Kitab Suci adalah “saat ini” sebagai “keabadian”.

Kristus Tuhan sudi menjadi manusia. Apalagi yang Anda harapkan dari Tuhan? Apakah Ia belum cukup direndahkan? Ia yang tadinya Allah kini menjadi manusia.

Ia yang tadinya menciptakan bintang-bintang dan mengisi seluruh jagad raya, tidak mendapat tempat di rumah penginapan.

Lihatlah palungan yang sempit dan menyesakkan itu. Ia yang memberikan kebebasan kepada manusia dan kehidupan bagi segala makhluk, dibungkus dengan kain lampin dan dibaringkan di palungan.

Lihatlah apa yang biasanya ada di kandang. Hewan di kandang menjadi santapan kita. Ia yang dibaringkan di palungan menjadi santapan rohani bagi manusia. Siapakah bisa mengerti?

Lembu, kambing dan domba mengenal pemiliknya. Keledai mengenal palungannya. Kita tidak berbeda dari mereka. Ada percikan ilahi, dorongan roh, yang menggerakkan kita kembali kepada sumber dari segala sumber kehidupan.

Kristus datang dari atas ke bawah agar kita bisa naik dari bawah ke atas. Masih ingatkah keledai yang dibawa kepada Tuhan? Kita adalah keledainya. Biarkan Ia mengendarai kita dan kita akan diringankan. Biarkan ia mengarahkan langkah hidup kita dan kita tidak akan tersesat.

2

Kristus Tuhan dilahirkan sebagai manusia supaya kita menjadi serupa atau sama dengan Kristus. Agar menjadi sama dengan Kristus, kita perlu dilahirkan kembali, dilahirkan kembali sebagai roh. Roh adalah siapa kita yang sesungguhnya.

“Angin bertiup ke mana ia mau, dan engkau mendengar bunyinya, tetapi engkau tidak tahu dari mana ia datang atau ke mana ia pergi. Demikianlah halnya dengan tiap-tiap orang yang lahir dari Roh.” (Yoh 3:8)

Kita belum akan sepenuhnya bebas dari penderitaan atau belum hidup dalam kepenuhannya sebelum kita dilahirkan kembali sebagai roh. “Sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak melihat Kerajaan Allah.” (Yoh 3:3)

Agar bisa dilahirkan dari roh, lepaskan apa saja yang bukan diri Anda. Itu tidak berbeda dengan mengosongkan diri agar Kristus dilahirkan dalam diri kita.

Demikianlah kita berlatih. Tanggalkan segala hal yang bukan diri Anda yang sebenarnya.

Apakah Anda adalah tubuh? Lepaskan. Apakah Anda gagasan, keyakinan, dogma di benak Anda? Lepaskan. Apakah Anda emosi atau perasaan? Lepaskan. Apakah Anda Ego? Lepaskan. Apakah pasangan Anda adalah Anda? Lepaskan. Apakah uang, materi, kekuasaan dan semua Anda miliki adalah anda? Lepaskan. Apakah ingatan, kehendak, harapan, itu semua adalah Anda? Lepaskan.

Lepaskan tubuh, batin, dan jiwa Anda. Lepaskan kelekatan dan kebencian pada segala hal. Lepaskan konsep “aku” dan “milikku”. Lepaskan semua yang anda kenal.

Lalu apa yang tersisa? Satu-satunya yang tinggal adalah “kesadaran murni”, “keilahian”, “Inti Ketuhanan”. Itu adalah nama lain dari “roh”. Roh dilahirkan dalam “suwung”, “kenosis”. Itulah “fondasi Tuhan”, “fondasi keberadaan” kita. The groundless ground of being is the groundless ground of God. Keduanya tidak berbeda.

Lahir dari roh membawa kebebasan yang penuh sukacita.

Lahir dari roh, membuat kita hidup penuh damai, bersaudara, bersatu, harmoni, melampaui sekat-sekat agama, suku, ras, golongan.

Lahir dari roh membuat cinta, welas asih, dan keadilan mekar dalam hidup kita.

Tinggallah “di” situ dan jadilah “itu”. Di situlah tempat “kelahiran kembali”. Kristus dilahirkan pada dasar keberadaan kita, dalam “kenosis”, “suwung”. Itulah “fondasi beberadaan”, “fondasi Tuhan”. Pada saat Kristus dilahirkan, kita pun dilahirkan kembali. Pada saat kita dilahirkan kembali, Kristus dilahirkan dalam diri kita.

Itu hanya terjadi “saat ini”, “seketika”. Amin.*